Sabtu, 23 Juli 2011

YA ALLAH BERI HAMBA KESABARAN

Hallo ‘kesulitan’, mana ‘kemudahan’”, seperti itu kira-kira pak Mario Teguh sambil merentangkan tangannya seolah menyambut mesra, memperagakan sambutannya kepada ‘kesulitan’, saat menjawab pertanyaan audience tentang bagaimana kiat menghadapi kesulitan. Kalimat dan peragaan singkat itu benar-benar membuat aku terperangah. Sangat mengejutkan. 
Surah yang sangat kita kenal, Surah Asy-Syarh. Ada yang menamainya Surah Alam Nasyrah atau Surah al-Insyirah. Kelapangan dada, demikian artinya.
Surah Alam Nasyrah

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
2. dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
3. yang memberatkan punggungmu ,
4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Selama ini pemahaman ayat 5 dan 6 terasa sangat mudah dan sederhana. “Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Dipahami seperti, apabila kita mendapat kesulitan, yakinlah bahwa setelah itu akan ada kemudahan. Pengulangan memang membuat kita lebih yakin. Apalagi sering mendengar para ustadz menjelaskan bahwa satu kesulitan (al-’usr dalam bentuk definit) diikuti dengan kemudahan (yusran dalam bentuk indefinit), yang secara mudah dimaknai sebagai; “Setiap satu kesulitan akan disusul dengan dua kemudahan”.
Karenanya setiap kali aku berdo’a, sebagaimana sering kita juga contoh dari do’a Nabi Musa AS, pada Surah Thaahaa: 25 – 27.

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي

وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي

25. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,
26. dan mudahkanlah untukku urusanku,
27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,
aku selalu saja meminta ‘kemudahan’ untuk urusanku.
Setiap mendapat kesulitan, do’aku selalu ‘meminta kemudahan’. Apabila melihat orang lain, saudara atau teman mendapat ‘kesulitan’, aku mendo’akannya dengan ‘memintakan kemudahan’. Suatu yang aku yakini benar dan sepertinya memang sudah sangat tepat.
Tetapi setelah melihat pak Mario Teguh berucap dan memperagakan gaya seperti itu dalam menyambut ‘kesulitan’, aku merasakan ada yang kurang pas dengan keyakinanku selama ini. Mencoba merenunginya sejenak apa yang aku lihat dan dengar dari tayangan acara pak Mario Teguh di MetroTV saat itu, membuat aku tersadar bahwa selama ini aku justru terlihat bodoh dan tidak mengerti.
Bagaimana tidak, ALLAH beri aku satu paket kesulitan sebagai pembungkus dua kemudahan, aku malah berdo’a meminta kemudahan. Macam ALLAH berikan aku satu kotak berisi dua roti, dan kemudian aku malahan berdo’a meminta roti. Betapa aku tidak mengerti ALLAH mengulang “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Lucu sekali.
Karena pada buku Tafsir Al Mishbah, ayat 5 dan 6 Surah Asy-Syarh (Alam Nasyrah) diterjemahkan sebagai berikut;
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”.
maka ini lebih mudah dipahami. Karena kata “sesudah” (atau ada juga yang menterjemahkannya dengan kata “dibalik”), lebih memberi kesan “kemudian”, dengan jeda waktu yang sangat relatif. Orang sabar menganggapnya sebentar, sementara yang lain dan terburu-buru bisa saja merasakannya sangat lama. Kapan kemudahan akan datang? Begitu mungkin yang dibayangkan.
Tafsir Al Mishbah Vol 15, halaman 355
Kekhususan dimaksud bukan saja dari segi kadar atau kapasitas kelapangan dada tetapi juga pada substansinya. Hal terakhir ini, dapat terlihat melalui perbandingan antara dua ayat yang berbicara tentang kelapangan dada. Masing-masing yang dianugerahkan kepada Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Musa AS bermohon kepada ALLAH agar dianugerahi kelapangan dada serta mempermudah untuknya segala persoalan (Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku). Demikian permohonan beliau yang direkam oleh QS. Thaha [20]: 25-26, sedangkan Nabi Muhammad SAW memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan (perhatikan ayat diatas). Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa permohonan tentu lebih dicintai dari yang bermohon, baik permohonannya diterima, lebih-lebih bila tidak.
Disisi lain, permohonan Nabi Musa AS adalah agar dipermudah untuk beliau urusannya, sedang Nabi Muhammad SAW bukan sekedar urusan yang dimudahkan ALLAH bagi beliau, tetapi beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi – maka dengan pertolongan ALLAH – beliau akan mampu menyelesaikannya. Mengapa demikian? Karena ALLAH menyatakan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Kami akan mempermudahmu kepada kemudahan” (QS. AL-A’la [87]: 8).
Semakin jelas bahwa sebenarnya kesulitan itu selalu datang bersamaan dengan kemudahan-kemudahan (bukan hanya satu kemudahan).Lalu mengapa kita masih “meminta kemudahan”. Mengapa tidak seperti pak Mario Teguh menyambut dengan tangan terbuka dan senyum yang sangat lebar, “Wahai kesulitan, mana kemudahan”. Mungkin karena pandangannya terhadap kemudahan masih terhalang, sehingga dia bertanya dan mencari kemudahan. Tetapi itu menunjukkan, bahwa dia sangat yakin ‘kesulitan’ datang ‘bersama kemudahan-kemudahan’.
Memang jika direnungkan, pada saat kita mendapati kesulitan (tentunya hanya ALLAH jua yang menetapkannya), mungkin do’a yang lebih tepat adalah meminta kesabaran,  meminta petunjuk untuk menemukan kemudahan (yang sudah diberikan bersama datangnya kesulitan). Karena bisa jadi, pandangan kita terhalang oleh emosi, sikap terburu-buru, kesombongan, gengsi dan lain-lain, yang akibatnya justru mempersulit kita untuk menemukan kemudahan-kemudahan itu.
Pernah suatu kali, seorang ibu bertanya kepada ustadz nya, “Pak ustadz, kalau ALLAH sudah berikan semua kepada kita, dan ALLAH Maha Mengetahui atas segala sesuatunya kebutuhan dan keinginan kita, kayaknya do’a kita cuma satu doang kali ya, kita cuma minta diberi kesabaran aja”. Semua yang hadir, dan tentu ustadz nya juga, tertawa mendengarkan pertanyaan ibu tadi. Memang kalau mau dipikir-pikir, apalagi yang harus kita minta? Ah, itu kan pertanyaan sambil bercanda.
Ya ALLAH Azza wa Jalla, berikan kepadaku keikhlasan dan kesabaran,
tunjukkanlah kepadaku jalan untuk menemukan kemudahan-Mu,
jadikan aku orang selalu bersyukur atas segala ketetapan dari-Mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar